Sabtu, 21 Desember 2013

Siswa Berkarakter Kinestetik Perlu Diperhatikan

Jakarta, Psikologi Zone – Setiap guru di Indonesia tidak banyak yang mengerti soal karakteristik psikologi anak. Banyak dari mereka yang mengacu pada karakteristik auditori dan visual, sedangkan karakter kinestetik dianggap sebagai kenakalan.
Psikolog yang berkecimpung di Yayasan Anak Indonesia Suka Baca, Kamis (28/6), Linda Saptadji mengatakan, “karakteristik anak menjadi salah satu tantangan bagipendidikan di Indonesia, terutama bagi anak yang memiliki karakter kinestetik. Guru sering mempersepsikan mereka sebagai anak yang nakal karna banyak bergerak”.
Linda menambahkan, anak dengan karakter kinestetik punya masalah saat menangkap pelajaran.
“Masalah terbesarnya ada di sekolah. Tidak semua pelajaran memiliki sesi praktik, sehingga harus ada usaha lebih untuk bisa menerjemahkan pengetahuan yang guru berikan dalam bentuk praktik,” jelasnya Linda.
Linda juga menyayangkan bahwa tidak semua materi pelajaran di sekolah memberikan materi praktik, padahal anak-anak kinestetik lebih mudah memahami melalui cara-cara motorik, bukan sekedar visualisasi.
“Pendidikan kan berkembang, teori-teori pendidikan juga berkembang. Anak-anak pun berkembang, tantangan juga semakin banyak,” tambah Linda.
Menurut Linda, mind mapping adalah cara efektif saat meningkatkan kualitas anak didik yang mempunyai beragam karakteristik. Tony buzan, seorang konsultan pendidikan menggunakan mind mapping untuk dunia pendidikan.
“Karena pada saat mapping terserah anak mau menulis apa dan mereka mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis,” kata Linda. (kmp/mba)
diambil dari www.psikologizone.com

Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.

Yunani kuno sd. abad 18

Sejarah dari psikologi kognitif berawal pada saat Plato (428-348SM) dan muridnya Aristotle (384-322SM) memperdebatkan mengenai cara manusia memahami pengetahuan maupun dunia serta alamnya. Plato berpendapat bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan cara menalar secara logis, aliran ini disebut sebagai rasionalis. Lain halnya dengan Aristotle yang menganut paham empiris dan mempercayai bahwa manusia memperoleh pengetahuannya melalui bukti-bukti empiris.
Perdebatan ini masih berlangsung seperti pertentangan Rasionalis dari PerancisRene Descartes (1596-1650), dan Empiris dari InggrisJohn Locke (1632-1704), dengan tabularasa-nya. Seorang fisuf JermanImmanuel Kant, pada abad 18 berargumentasi bahwa baik rasionalisme maupun empirisme harus bersinergi dalam membuktikan pengetahuan. Perdebatan ini meletakkan landasan dan memengaruhi cara berpikir di bidang ilmu psikologi maupun cabang ilmu lainnya. Saat ini ilmu pengetahun mendasarkan paham empiris untuk pencarian data dan pengolahan dan analisis data menggunakan kerangka pikir rasionalis.

Abad 19 dan 20

Wilhelm Wundt (1832-1920)seorang psikolog dari Jerman mengajukan ide untuk mempelajari pengalaman sensori melalui introspeksi. Dalam mempelajari proses perpindahan informasi atau berpikir, maka informasi tersebut harus dibagi dalam struktur berpikir yang lebih kecil. Aliran strukturisme Wundt berfokus pada proses berpikir, namun aliran fungsionalisme berpendapat bahwa bahwa penting bagi manusia untuk tahu apa dan mengapa mereka melakukan sesuatu. William James (1842-1910)seorang pragmatisme-fungsionalisme melontarkan gagasan mengenai atensi,kesadaran serta persepsi.
Setelah itu munculah aliran assosiasi (Edward Lee Thorndike, 1874-1949) yang mulai menggunakan stimulus dan diikuti dengan aliran behaviorisme yang memasangkan antara stimulus dan respon dalam proses belajar. Pendekatan behaviorisme radikal yang dibawakan oleh B.F. Skinner (1904-1990) menyatakan bahwa semua tingkah laku manusia untuk belajar, perolehan bahasa bahkan penyelesaian masalah dapat dijelaskan dengan penguatan antara stimulus dan respon melalui hadiah dan hukuman.
Namun pendekatan behaviorisme belum dapat menjawab alasan perilaku manusia yang berbeda misalnya melakukan perencanaan, pilihan dan sebagainya. Edward Tolman (1886-1959) percaya bahwa semua tingkah laku ditujukan pada suatu tujuan. Menggunakan eksperimen dengan tikus yang mencari makanan dalam maze, percobaan ini membuktikan bahwa terdapat skema atau peta dalam kognisi tikus. Hal ini membuktikan bahwa tingkah laku melibatkan proses kognisi. Oleh karena itu beberapa pihak mengakui Tolman sebagai Bapak Psikologi Kognitif Modern.
Selain Tolman, Albert Bandura (1925- ) juga mengkritik behaviorisme dengan menyatakan bahwa belajar pun dapat diperoleh melalui lingkungan sosial dari individu. Dalam perolehan bahasa,Noam Chomsky (1928- ) -seorang linguis- juga mengkritik behaviorisme dengan menyatakan bahwa otak manusia dibekali dengan kemampuan untuk mengenali dan memproduksi bahasa

Teori Konvergensi dalam Psikologi


Teori Konvergensi dalam psikologi
 




MATA KULIAH : PSIKOLOGI UMUM I


DISUSUN OLEH:
1.  SARNI
2.  AINUN PURINI



BEKASI, 19 OKTOBER 2013



Pendahuluan


Latar Belakang

Aliran konvergensi lahir dikarenakan adanya perbedaan pendapat tentang dua faktor yang mempengaruhi perkembangan akhlak anak, yaitu faktor hereditas (keturunan) dan Milliu (lingkungan). Para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi dan lain-lainya, memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan: perkembangan manusia itu bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan? Atau dengan kata lain dalam perkembangan anak muda hingga menjadi dewasa dibawa dari keturunan (pembawaan) ataukah pengaruh-pengaruh lingkungan

Pengertian Teori Konvergensi menurut Para Ahli

William Louis Stern (1871-1938)

Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu

Aliran-aliran yang Mempengaruhi Aliran Konvergensi

A.   Aliran Nativisme

Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.

B.   Aliran Empirisme

Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka

Karya-karya lain Tokoh Filsafat Konvergensi
(William Louis Stern )

A.   IQ (Intelligence Quotient)

Dasar teori dari konsep IQ adalah adanya perbedaan pada tiap-tiap orang dalam hal tingkat kecerdasannya. IQ sampai sekarang masih sangat banyak dipakai, baik dalam dunia psikologi, pendidikan maupun masyarakat umum. Stern merumuskan IQ sebagai perbandingan umur mental (mental age) seseorang terhadap umur kalendernya (callender age atau chronologycal age). Hasil perbandingan itu dikalikan 100 untuk menghilangkan angka-angka di belakang koma. Dengan demikian maka rumus IQ adalah:

            IQ = MA/CA x 100
            di mana MA = Mental age (usia mental)
            CA = Calender/Chronological Age (usia sesungguhnya)
            (Rumusan ini sselanjutnya dianut oleh L.M. Terman)

            Seorang yang bertaraf kecerdasan rata-rata atau normal, mempunyai usia mental yang sama atau mendekati usia kalender. Jadi seorang yang berusai mental 10 (sepuluh) tahun, sedangkan usia kalendernya juga 10, maka IQ-nya adalah : 10/10 x 100 = 100.

            Kalau usia mental orang itu adalah 12 tahun sedangkan umur kalendernya masih 10 tahun, maka IQ-nya 120. Sebaliknya, kalau usia mentalnya baru setaraf dengan anak umur 8 tahun, sedangkan umur kalendernya sudah 10 tahun, maka orang itu mempunyai IQ 80, yang berarti bahwa taraf kecerdasannya tidak setinggi anak normal. Adapun usia mental seseorang dapat dilihat melalui perbuatan-perbuatan anak itu sehari-hai taupun dari prestasi sekolahnya, tetapi bisa juga dengan menggunakan alat tes khusus. Tetapi teknik pengukuran IQ secara ini hanya dapat dilakukan sampai batas umur tertentu, karena usia mental seseorang tidak berkembang atau bertambah untuk selamanya, mmelainkan akan terhenti sampai batas usia tertentu (antara 15-20 tahun).

            Untuk mengukur IQ orang yang berusia di atas 20 tahun, maka perlu digunakan tes khusus yang bisa langsung mengukur IQ tanpa harus membagi atau menghitung perbandingan. Arti IQ tetap sama yaitu di atas 100 adalah lebih pandai dari rata-rata, sekitar 100 adalah rata-rata normal, sedangkan kurang dari 100 disebut di bawah normal.

B.     PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

Psikologi perkembangan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam perkembangannya dan latar belakang yang mempengaruhinya. Dalam ruang lingkup psikologi, ilmu ini termasuk psikologi khusus, karena psikologi perkembangan mempelajari kekhususan dari pada tingkah laku individu.

Ada beberapa manfaat mempelajari Psikologi Perkembangan, diantaranya yaitu:
1)      Untuk mengetahui tingkah laku individu itu sesuai atau tidak dengan tingkat usia/ perkembangannya.
2)      Untuk mengetahui tingkat pemampuan individu pada setiap fase perkembangannya
3)      Untuk mengetahui kapan individu bisa diberi stimulus pada tingkat perkembangan tertentu.
4)      Agar dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan dihadapi anak.
5)      Khusus bagi guru, agar dapat memilih dan memberikan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan anak
Menurut beberapa para ahli, ada beberapa fase atau periodisasi psikologi perkembangan individu, yaitu:
1.      Periodisasi yang berdasar biologis.
Periodisasi atau pembagian masa-masa perkembangan ini didasarkan kepada keadaan atau proses biologis tertentu. Pembagian Aristoteles didasarkan atas gejala pertumbuhan jasmani yaitu antara fase satu dan fase kedua dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase kedua dengan fase ketiga ditandai dengan mulai bekerjanya kelenjar kelengkapan kelamin. Fase-fase tersebut yaitu a) Fase anak kecil : 0 – t th, b) Fase anak sekolah: 7 – 14 th yaitu masa mulai bekerjanya kelenjar kelengkapan kelamin, dan c) Fase remaja : 14 – 21 th
2.      Periodisasi yang berdasar psikologis
Tokoh utama yang mendasarkan periodisasi ini kepada keadaan psikologis adalah Oswald Kroch. Beliau menjadikan masa-masa kegoncangan sebagai dasar pembagian masa-masa psikologi perkembangan, karena beliau yakin bahwa masa kegoncangan inilah yang merupakan keadaan psikologis yang khas dan dialami oleh setiap anak dalam masa perkembangannya. Fase-fase tersebut yaitu: a) Dari lahir sampai masa “trotz”( kegoncangan) pertama: kanak-kanak awal. b) Trotz pertama sampai trotz kedua : masa keserasia bersekolah. c) Trotz kedua sampai akhir remaja: masa kematangan
3.      Periodisasi yang berdasar didaktis.
Pembagian masa-masa perkembangan sekarang ini seperti yang dikemukakan oleh Harvey A. Tilker, PhD dalam “Developmental Psycology to day”(1975) dan Elizabeth B. Hurlock dalam “Developmental Psycology”(1980) tampak sudah lengkap mencakup sepanjang hidup manusia sesuai dengan hakikat perkembangan manusia yang berlangsung sejak konsepsi sampai mati dengan pembagian periodisasinya.
Berikut periodisasi berdasarkan didaktis menurut Elizabeth B. Hurlock :
a)      Masa sebelum lahir (pranatal): 9 bulan
b)      Masa bayi baru lahir (new born): 0-2 minggu
c)      Masa bayi (babyhood): 2 minggu- 2 th
d)     Masa kanak-kanak awal (early childhood):2-6 th
e)      Masa kanak-kanak akhir (later chilhood): 6-12 th
f)       Masa puber (puberty) 11/12 – 15/16 th
g)      Masa remaja ( adolesence) : 15/16 – 21 th
h)      Masa dewasa awal (early adulthood) : 21-40 th
i)        Masa dewasa madya (middle adulthood): 40-60 th
j)        Masa usia lanjut (later adulthood) : 60-…..

C.     PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
Pengertian Psikologi Industri dan Organisasi
Psikologi industri dan organisasi merupakan hasil perkembangan psikologi umum, psikologi eksperimen dan psikologi khusus di mana penerapannya secara luas di bidang industri berlangsung sekitar tahun 1930-an. Sampai Perang Dunia ke-2 psikologi industri (belum ada tambahan organisasi) kegiatan utamanya menerapkan metode, fakta dan prinsip-prinsip psikologi pada manusia sebagai tenaga kerja. Baru sejak perang dunia ke-2 psikologi industri dan organisasi menjadi ilmu mandiri dengan kegiatannya.
1)      Melaksanakan penelitian ilmiah dalam kaitannya dengan peran atau perilaku manusia dalam organisasi dan organisasi itu sendiri;
2)      Mengembangkan teori-teori dan menguji kebenarannya;
3)      Menerapkan penemuan-penemuan baru.
Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, psikologi industri dan organisasi merupakan keseluruhan pengetahuan yang berisi fakta, aturan, dan prinsip-prinsip tentang perilaku manusia di bidang pekerjaan.
Sehubungan dengan kegiatan-kegiatan tersebut maka psikologi industri dan organisasi perlu diupayakan penggunaannya untuk kepentingan dan kemanfaatan semua pihak yang terkait dan harus diupayakan agar dalam penerapannya tidak terjadi penafsiran yang keliru.
Psikologi industri dan organisasi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam perannya sebagai tenaga kerja dan konsumen baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Yang dimaksud dengan perilaku adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung (perilaku terbuka) seperti berjalan, berbicara, dan lain-lain maupun yang tidak dapat diamati secara langsung (perilaku tertutup) seperti berpikir, motivasi, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri, psikologi industri dan organisasi perkembangannya masih terbatas pada kegiatan, terutama yang menerapkan temuan-temuan dari psikologi pada umumnya, psikologi industri dan organisasi pada khususnya, dan dalam industri dan organisasi.
Sebagaimana dikemukakan dalam psikologi industri dan organisasi perilaku manusia dipelajari dalam perannya sebagai tenaga kerja dan sebagai konsumen.
Sebagai tenaga kerja, perilaku dipelajari di dalam lingkungan kerja, di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, saling pengaruh dalam hubungan tersebut, sejauhmana tenaga kerja sesuai dengan pekerjaannya.
Sebagai tenaga kerja manusia menjadi anggota organisasi industrinya, sebaliknya sebagai konsumen manusia menjadi pemakai (user) dari produk jasa dari organisasi industri.
Selain daripada itu manusia dipelajari secara perorangan dan kelompok. Dalam hubungan unit-unit organisasi, struktur, pola dan jenis organisasi dipelajari bagaimana dampaknya terhadap perilaku seorang tenaga kerja, dan sebaliknya.
Dari temuan-temuan yang ada maka didapat data-data antara lain:
1)      Adanya teori-teori, aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan kembali ke dalam kegiatan-kegiatan industri dan organisasi untuk kepentingan tenaga kerja, konsumen dan organisasinya.
2)      Terkumpul data bahwa tidak setiap manajer berhasil dalam pelaksanaan tugas pekerjaannya.
3)      Beda utama antara manajer yang berhasil dengan manajer yang kurang berhasil terletak pada kecepatan dan ketepatan memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Temuan-temuan yang didapat ini dapat digunakan untuk mengembangkan tes-tes, latihan-latihan bagi calon-calon manajer dan seleksi para calon manajer.

Wawasan Psikologi Industri dan Organisasi
Dengan berkembangnya psikologi menjadi ilmu yang mandiri di mana wawasannya semakin luas, maka kegiatannya tidak hanya menerapkan metode, fakta dan prinsip-prinsip dari psikologi pada manusia sebagai tenaga kerja, melainkan melaksanakan juga penelitian dalam upaya menjawab pertanyaan dasar tentang manusia dalam organisasi serta organisasi itu sendiri. Dengan meluasnya wawasan tersebut maka namanya menjadi Psikologi Industri dan orgnaisasi. Yang dimaksud dengan organisasi adalah: organisasi formal yang tujuannya utamanya:
§         mencari keuntungan dari hasil produksi dan jasa;
§         bukan mencari keuntungan, misalnya lembaga pendidikan, rumah sakit dan sebagainya.
D.    PSIKOLOGI DIFERENSIAL
Berdasarkan temuan-temuan psikologi eksperimen, berkembang pula psikologi diferensial atau disebut juga psikologi khusus, dengan tokohnya William Stern, yang menerbitkan bukunya “Die Differentielle Psichologie” yang mengulas secara sistematik bidang-bidang dan metode dari psikologi khusus.
Kemudian dari psikologi diferensial ini, berkembanglah psychotechniek yang kemudian terkenal dengan psikometri, yang mempelajari dan mengukur gejala-gejala psikis yang khas dari seseorang, yaitu keunikan atau perbedaan antar manusia.
Alat-alat ukur yang digunakan untuk keperluan tersebut, kemudian dikenal dengan tes psikologi. Tes psikologi pertama dikembangkan di Perancis oleh Binet dan Simon. Tes ini kemudian di adaptasi dan dikembangkan di negara-negara lain Di Amerika Serikat dikenal sebagai Terman-Merrill Intelligence Test. Selain itu dikenal pula Army Alpha Tes yang digunakan khusus dalam seleksi tentara dan Army Beta Tes, khusus untuk mereka yang buta aksara.
Selanjutnya tes psikologi berkembang dengan tes-tes inteligensi, tes kemampuan, tes kepribadian dan minat yang bisa digunakan dalam seleksi, bimbingan, penyuluhan dan rehabilitasi. Selain itu juga digunakan untuk keperluan rotasi, pengembangan karier serta meningkatkan motivasi kerja.      
Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

  1. Teori Konvergensi adalah bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan..
  2. Dengan adanya teori konvergensi maka bermunculan psikologi-psikologi lain seperti psikologi perkembangan, psikologi kejuruan dan perusahaan yang saat ini juga di kenal sebagai psikologi industri dan organisasi
  3. Teori konvergensi juga melahirkan konsep IQ (Intellegence Quotient) yang sampai sekarang masih dipakai.



B. Saran

Penyusunan makalah ini sesungguhnya masih memiliki banyak kekurangan dalam hal materi pembahasannya. Oleh sebab itu kami mengharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan kritik dan saran kepada kami tentang penyusun.

DAFTAR PUSTAKA


1.      Sarlito W. Sarwono. (2008). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

2.      Sarlito W. Sarwono (2013). Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan tokokh-tokoh Psikologi. Jakarta: PP. Bulan Bintang.

3.      Daradjat, Zakiah, et all. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Akrasa kerjasama dengan Depag

4.      Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Mudyahardjo.

5.      Redja. 2002. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

6.      Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press
Tirharahardja.

7.      Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta